Materi Bahan Ajar - Perlawanan Pangeran Diponegoro di Yogyakarta terhadap Penjajah Belanda - Pangeran Diponegoro semasa kecilnya bernama Ontowiryo. Dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785. Beliauadalah putra Sultan Hamengku Buwono III. Beliau mendapat pendidikan agama Islam, keprajuritan dan kepahlawanan. Juga budi pekerti, cinta kepada sesama manusia, cinta bangsa dan cinta tanah air.
Berkat pendidikan nenek buyutnya, Pangeran Diponegoro menyadari benar bahwa kemerosotan bangsa dan negaranya adalah akibat adanya penjajahan Belanda. Alasan lain yang mendorong Pangeran Diponegoro melakukan perlawanan terhadap Belanda sangatlah banyak.
Kerajaan Mataram yang demikian besarnya pecah menjadi 4 kerajaan kecil akibat campur tangan Belanda, yaitu Kerajaan Yogyakarta, Kerajaan Surakarta, Kerajaan Paku Alam, dan Kerajaan Mangkunegaraan. Bahkan Patih Kerajaan Yogyakarta yang bernama Danureja IV mendukung penjajahan Belanda. Ia turut serta memeras rakyat.
Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro tidak menyukai terhadap patih kerajaan tersebut. Kemarahan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda memuncak ketika Patih Danureja IV, suruhan Daendels memasang tonggak-tonggak di atas tanah milik Pangeran Diponegoro di Tegalejo. Hal itu dilakukan tanpa seizin Pangeran Diponegoro terlebih dahulu.
Pada tanggal 20 Juli 1825, pasukan Belanda melakukan serangan ke Tegalrejo. Hal ini membangkitkan perlawanan Pangeran Diponegoro. Daerah Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Kedu dan Banyumas juga ikut berontak. Kedu dijadikan pusat perlawanan dan pemerintahan Pangeran Diponegoro. Markas besarnya terletak di Gunung Manoreh. Perlawanan Diponegoro dibantu pula oleh teman-temannya.
Pangeran Mangkubumi dan Kiai Maja sebagai penasehat. Pangeran Ngabehi Jayakusuma dan Sentot Alibasya Prawirodirjo sebagai panglima perang. Ada pula bantuan dari Imam Musba dan Prawirokusumo.
Pengaruh perlawanan Pangeran Diponegoro sampai pantai utara Jawa. Rakyat mengangkat Pangeran Diponegoro menjadi sultan dengan gelar Sultan Abdulhamid Herucakra Amirul Mukminin Sayidin Panatagama.
Perang Diponegoro berlangsung bertahun-tahun, mulai tanggal 20 Juli 1825 sampai 28 Maret 1830. Siasat Perang Diponegoro adalah gerilya. Markasnya terus berpindah-pindah, mula-mula di Tegalrejo kemudian pindah ke Selarong, Plered, Sala, Kedu, Bagelen, Banyumas, Tegal dan Pekalongan.
Belanda mendatangkan serdadu dari negerinya untuk mengadakan tekanan dan gerak cepat. Beberapa daerah dapat dikuasasi Belanda, yaitu Madiun, Bojonegoro, Pati, Semarang dan Pekalongan. Bahkan, Belanda terus-menerus mengadakan tekanan agar pasukan Pangeran Diponegoro keluar dari Yogyakarta dan Surakarta. Siasat Belanda adalah siasat Benteng (Benteng Stelsel). Akibatnya, daerah gerilya semakin sempit dan tidak dapat bergerak.
Pada tahun 1829, Kiai Maja tertangkap oleh Belanda, kemudian diasingkan ke Manado. Sebulan kemudian, Sentot Alibasya justru menyerah kepada Belanda. Ia dikirim ke Sumatera untuk memerangi Imam Bonjol dalam Perang Padri. Akhirnya, ia wafat di Bengkulu. Walaupun sudah ditinggalkan oleh para pembantunya, Pangeran Diponegoro terus berjuang.
Panglima tentara Belanda, Jenderal de Kock meminta agar Pangeran Diponegoro mau melakukan perundingan dengan menjamin keselamatannya. Perundingan dilakukan di Magelang, namun Jenderal de Kock mengingkari janjinya. Secara tiba-tiba seluruh pengikut Pangeran Diponegoro dilucuti senjatanya dan Pangeran Diponegoro ditangkap.
Dari Magelang, Pangeran Diponegoro dibawa ke Semarang dengan kapal kemudian ke Batavia. Dari Batavia, Pangeran Diponegoro dibawa ke Manado (1830), kemudian dipindahkan ke Ujungpandang (1834). Beliau ditahan di Fort Rotterdam (benteng Makassar). Setelah ditahan selama 24 tahun oleh Belanda, pada tanggal 18 Januari 1855 beliau wafat dan dimakamkan di Kota Ujungpandang.
Perlawanan Pangeran Diponegoro ini ternyata mempunyai pengaruh yang sangat besar dan luas. Bagi Belanda, Perang Diponegoro telah menelan korban yang cukup besar, yaitu telah kehilangan 8.000 orang Eropa dan 7.000 orang pribumi serta menelan biaya yang tinggi, yaitu 20 juta gulden.